Indonesia merupakan negara agraris dengan hasil perkebunan yang sangat beragam. Salah satu tanaman utama yang dihasilkan adalah tanaman kakao (Theobroma cacao). Theobroma cacao adalah nama biologi yang diberikan pada pohon kakao oleh Linnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah dari genus Theobroma adalah di bagian hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan teduh (Mulato, & Widyotomo, 2003).
Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 8- 10 m. Tanaman ini menyebar dari Amerika Selatan ke Amerika Utara, Afrika dan Asia . Kakao di Indonesia pertama kali dibudidayakan pada tahun 1921 dan berkembang pesat di daerah-daerah pulau Jawa. Sekarang tanaman kakao sudah menyebar di seluruh Indonesia. Perkembangan cokelat sangat pesat, karena semakin meningkatnya kebutuhan akan tanaman jenis ini, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2008).
Dari data yang dilaporkan Suryani & Zulfebriansyah (2007), bahwa Indonesia merupakan negara penghasil biji kakao ketiga terbesar dunia setelah Pantai Gading dan Gana. Dari data tesebut terlihat dengan jelas bahwa kakao merupakan salah satu komoditi andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja serta sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900.000 kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta (Goenadi dkk., 2005) dan pada tahun 2007 kakao tercatat memberikan sumbangan devisa sebesar US$ 1150 juta (Suryani & Zulfebriansyah, 2007).
Produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah dan beragam, antara lain tidak cukup kering, ukuran biji tidak seragam, kadar kulit tinggi, keasaman tinggi, cita rasa sangat beragam dan tidak konsisten. Hal tersebut tercermin dari harga biji kakao Indonesia yang relatif rendah dan dikenakan potongan harga sebesar 10-15% atau USD 200/ton dalam pasar internasional, dibandingkan dengan harga produk sama dari negara produsen lain (Suryani & Zulfebriansyah, 2007).
Menurut Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia (2009) di Amerika Serikat harga biji kakao Indonesia dikenakan diskon automatic detention mencapai USD 300/ton. Selain itu adanya perbedaan bea masuk di negara ekspor tujuan, dimana Afrika dikenakan 0%, sedangkan Indonesia berkisar 7-12%. Namun, disisi lain kakao Indonesia juga mempunyai keunggulan yaitu mengandung lemak cokelat dan dapat menghasilkan bubuk kakao dengan mutu yang baik dan memiliki kadar polifenol yang cukup tinggi (Suryani & Zulfebriansyah, 2007; Yuliani, 2010).
Beberapa faktor penyebab mutu kakao beragam yang dihasilkan adalah minimnya sarana pengolahan, lemahnya pengawasan mutu serta penerapan teknologi pada seluruh tahapan proses pengolahan biji kakao rakyat yang tidak berorientasi pada mutu (Kadin, 2007).
Disisi lain, konsumen makanan lebih selektif dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka, maka dunia industri makanan saat ini mengarah ke pangan fungsional. Pangan fungsional adalah pangan yang tidak hanya memberikan zat-zat gizi esensial pada tubuh, tetapi juga memberikan efek perlindungan kesehatan atau bahkan penyembuhan terhadap beberapa penyakit. Bahan pangan yang berasal dari sumber tanaman diketahui memiliki komponen fitokimia, seperti polifenol, antosianin dan sebagainya. Polifenol memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi, berperan dalam pencegahan penyakit kardiovaskular dan pencegah kanker.Polifenol sebagai senyawa non gizi, merupakan xenobiotik yang diketahui sangat aman dan toksisitasnya rendah, sehingga menjadi kandidat yang unggul sebagai agensia pencegah kanker (Kusumaningtyas, 2008).
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2008), komposisi biji kakao adalah lemak (49- 52%), protein 6%, glukosa (8-14%), polifenol (6-12%), dan teobromin (0.17 – 0.20%).
Keberadaan polifenol dengan konsentrasi yang tinggi dalam kakao memberi pengaruh negatif terhadap citarasa, berupa rasa sepat dan pahit yang berlebihan serta menghambat pembentukan komponen-komponen aroma selama proses penyangraian biji kakao (Misnawi et al., 2004). Pembentukan rasa sepat diduga melalui mekanisme pengendapan protein-protein yang kaya prolin dalam air ludah dan menyumbang pada rasa pahit khas cokelat bersama alkaloid, beberapa asam amino, peptida dan pirazin (Kusumaningtyas, 2008).
Dengan demikian, maka perlu ada inovasi teknologi untuk meningkatkan mutu dan mempertahankan kandungan polifenol biji kakao dengan cita rasa yang baik yaitu salah satunya dengan cara fermentasi yang menggunakan inhibitor enzim polifenol oksidase.
Fermentasi biji kakao merupakan fermentasi tradisional yang melibatkan mikroorganisme endogen dan aktivitas enzim endogen. Fermentasi biji kakao akan menghasilkan prekursor cita rasa, mencokelat-hitamkan warna biji, mengurangi rasa-rasa pahit, asam, manis dan aroma bunga, meningkatkan aroma kakao (cokelat) dan kacang (nutty), dan mengeraskan kulit biji menjadi seperti tempurung. Biji yang tidak difermentasi tidak akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga cita rasa dan mutu biji sangat rendah (Rohman, 2009).
Penambahan aktivitas enzim protease selama memroses biji kakao secara fermentasi sangat penting dalam meningkatkan cita rasa kakao. Di dalam biji kakao akan terjadi penguraian senyawa polifenol, protein dan gula oleh enzim. Penguraian senyawa-senyawa tersebut akan menghasilkan aroma, perbaikan rasa dan perubahan warna (Voigt et al., 1994a; 1994b).
Enzim adalah biomolekul yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia dengan jalan menurunkan energi aktivasi. Enzim bekerja secara spesifik , memilki daya katalitik yang besar, dan umumnya tidak menghasilkan produk samping, sehingga sangat sering digunakan dalam proses biokimia, seperti halnya enzim protease yang bekerja secara spesifik sebagai pemecah asam amino tertentu pada proses fermentasi biji kakao (Mckee & James, 1999; Thompson et al., 2001).
Mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi biji kakao yaitu ragi, bakteri asam laktat, bakteri asam asetat dan kemungkinan Bacillus.spp akan tumbuh membentuk suatu urutan yang menyebabkan terjadinya proses fermentasi. Etanol dan asam organik (asam laktat dan asam asetat) yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut akan berdifusi ke dalam biji dan menyebabkan kematian biji. Perubahan ini menginduksi reaksi biokimia (reaksi enzimatik) di dalam biji dan menghasilkan prekursor kimia dari cita rasa coklat, aroma dan warna (Thompson et al., 2001; Ardhana & Fleet, 2003; Schwan & Wheals, 2004; Nielsen et al., 2008).
0 komentar:
Posting Komentar