Rabu, 28 September 2011

Kakao

2.1     Tanaman Kakao
2.1.1  Sejarah kakao
Buah Kakao
          Kakao (T. cacao) merupakan satu-satunya spesies diantara 22 jenis dalam genus Theobroma yang diusahakan secara komersial. Tanaman ini diperkirakan berasal dari lembah Amazon di Benua Amerika yang mempunyai iklim tropis. Colombus dalam pengembaraan dan petualangannya di benua menemukan dan membawanya ke Spanyol (Poedjiwidodo, 1996).

2.1.2  Taksonomi kakao
Kakao merupakan tumbuhan berwujud pohon yang berasal dari Amerika Selatan. Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai cokelat. Kakao merupakan tumbuhan perennial berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 8-10 m. Pohon kakao dapat tumbuh pada daerah-daerah yang berada pada 10°C LS, dengan curah hujan 1-5 L/mm2 per tahun, dengan temperatur 18-32°C. (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2008).
     Klasifikasi ilmiah kakao antara lain:
Dunia              : Plantae
Divisi               : Spermatophyta
Sub divisi        : Angiospermae
Kelas               : Dicotyledoneae
Sub kelas         : Dialypetaleae
Bangsa            : Malvales
Suku                : Sterculiaceae
Marga              : Theobroma
Jenis                : Theobroma cacao L.
(Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2008).
2.2     Manfaat Kakao
          Kakao adalah bahan baku dari cokelat , dimana cokelat mengandung jumlah lemak dan gula yang tinggi, namun telah dilaporkan dapat memberikan kontribusi positif untuk kesehatan karena mengandung antioksidan dan flavonoid seperti katekin, epikatekin, prosianidin serta polifenol yang  membantu  kesehatan vaskular, mencegah penuaan dini, membangkitkan mood , meningkatkan fungsi pembuluh darah, melindungi sel darah merah dari lisis dan kerusakan oksidatif yang erat hubungannya dengan aktivitas antioksidan yang tinggi (Engler et al., 2004; Kusumaningtiyas, 2008; Wanti, 2008).

2.3     Karakterisasi Tanaman Kakao
2.3.1 Klasifikasi tanaman kakao (T. cacao)
          Klasifikasi tanaman kakao yang bijinya dapat dimanfaatkan menjadi cokelat terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
a)      Criollo
         Criollo berasal dari daerah Amerika Tengah, Kepulauan Karibia, dan sebagian kecil bagian utara Amerika Selatan. Keunggulannya terletak pada kompleksitas rasa namun lembut dengan rasa cokelat klasik yang rendah, tetapi sangat kaya pada secondary note dengan jejak yang bertahan lama di mulut. Sayangnya, criollo kini sudah sangat sulit ditemukan dan hanya menghasilkan buah yang sedikit jumlahnya. Kalaupun ada, harganya sangat mahal di pasar kakao (Prihantoro, 2008).
b)      Forastero
          Forastero dapat dikatakan sebagai pohon kakao industri. Karena lebih tahan akan tuntutan lingkungan sekitarnya, jenis ini sangat mudah ditemukan diberbagai negara yang memiliki iklim tropis. Selain itu varietas ini sangat produktif menghasilkan buah kakao. Hanya saja, kualitasnya kalah dibandingkan dengan criollo. Bijinya memiliki karakter rasa khas cokelat sangat kuat (Reyhan, 2008). Forastero secara fisik memiliki ciri kulit berwarna hijau pada saat muda dan kuning pada saat matang dengan kulit yang tebal, serta menghasilkan biji cokelat yang mutunya sedang atau dikenal juga sebagai ordinary cocoa (Wanti, 2008).
c)      Trinitario
      Trinitario adalah perkawinan criollo dan forastero yang terjadi secara alami. Jenis ini memiliki “kekuatan fisik” forastero dan inner beauty dari criollo. Nama trinitario diberikan  karena tanaman ini berasal dari Trinidad (Reyhan, 2008). Warna buah kakao pada dasarnya ada dua macam, yaitu (Smanda, 2008):            -buah muda berwarna hijau putih dan bila masak menjadi berwarna kuning
            -buah muda yang berwarna merah setelah masak menjadi oranye
2.3.2 Komposisi kimia biji kakao
Biji Kakao
Pada biji kakao terdapat karbohidrat misalnya pati, rafinosa, sukrosa, glukosa dan fruktosa. Serat pangan yang terdapat di dalam biji antara lain pentosan, galaktan, dan selulosa. Karbohidrat bersama-sama dengan asam amino berkontribusi pada pengembangan flavor melalui degradasi gula saat proses pemanasan (reaksi Maillard). Asam amino yang terdapat dalam biji kakao misalnya asam aspartat, glisin dan lisin. Secara umum kandungan kimia buah kakao terlihat pada Tabel 2.1 (Minifie, 1999).
Menurut Misnawi et al. (2002), biji kakao yang difermentasi mengandung kadar polifenol sekitar 50-100 g/kg, sedangkan biji kakao non fermentasi mengandung polifenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao fermentasi, yaitu sekitar 120-180 g/kg. Keberadaan polifenol pada konsentrasi yang tinggi dalam kakao memberi pengaruh negatif terhadap citarasa, berupa rasa sepat dan pahit yang berlebihan serta menghambat pembentukan komponen-komponen aroma selama proses penyangraian biji kakao (Misnawi et al., 2004).
Tabel 2.1 Komponen dan komposisi biji kakao (Law et al., 2009)
Komponen
Komposisi (%)
Pulp
Air
80- 87
Gula
10-13
Pentosa
2-3
Asam sitrat
1-2
Garam
7-10
Kotiledon
Air
32-39
Selulosa
2-3
Pati
4-6
Pentose
4-6
Sukrosa
2-3
Lemak
30-32
Protein
8-10
Teobromin
2-3
Kafein
1
Asam
1
Polifenol
5-6

            Sejumlah polifenol golongan flavonoid terdapat dalam biji kakao, termasuk di dalamnya katekin, epikatekin dan antosianin (Minifie, 1999). Flavonoid adalah komponen yang memiliki berat molekul rendah, dan pada dasarnya adalah phenylbenzopyrones (phenylchromones) dengan berbagai variasi pada struktur dasarnya, yaitu tiga cincin utama yang saling melekat. Struktur dasar ini terdiri dari dua cincin benzena (A dan B) yang dihubungkan melalui cincin heterosiklik piran atau piron (dengan ikatan ganda) yang disebut cincin ”C” (Middleton et al ., 2000). Hal ini dipertegas lagi oleh Miean dan Mohamed (2001) bahwa struktur flavonoid adalah rangkaian cincin karbon CCC. Struktur inilah yang membuat senyawa fenolik cenderung mudah larut dalam pelarut organik atau air (Kusumaningtiyas, 2008).

Senin, 19 September 2011

Fermentasi Kakao

Indonesia merupakan negara agraris dengan hasil perkebunan yang sangat beragam. Salah satu tanaman utama yang dihasilkan adalah tanaman kakao (Theobroma cacao). Theobroma cacao adalah nama biologi yang diberikan pada pohon kakao oleh Linnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah dari genus Theobroma adalah di bagian hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan teduh (Mulato, & Widyotomo, 2003).
            Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam  dapat mencapai ketinggian 8- 10 m. Tanaman ini menyebar dari Amerika Selatan ke Amerika Utara, Afrika dan Asia . Kakao di Indonesia pertama kali dibudidayakan pada tahun 1921 dan berkembang pesat di daerah-daerah pulau Jawa. Sekarang tanaman kakao sudah menyebar di seluruh Indonesia. Perkembangan cokelat sangat pesat, karena semakin meningkatnya kebutuhan akan tanaman jenis ini, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2008).
            Dari data yang dilaporkan Suryani & Zulfebriansyah (2007), bahwa Indonesia merupakan negara penghasil biji kakao ketiga terbesar dunia setelah Pantai Gading dan Gana. Dari data tesebut terlihat dengan jelas bahwa kakao merupakan salah satu komoditi andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja serta sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900.000 kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta (Goenadi dkk., 2005) dan pada tahun 2007 kakao tercatat memberikan sumbangan devisa sebesar US$ 1150 juta (Suryani & Zulfebriansyah, 2007).
            Produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah dan beragam, antara lain tidak cukup kering, ukuran biji tidak seragam, kadar kulit tinggi, keasaman tinggi, cita rasa sangat beragam dan tidak konsisten. Hal tersebut tercermin dari harga biji kakao Indonesia yang relatif rendah dan dikenakan potongan harga sebesar 10-15% atau USD 200/ton dalam pasar internasional, dibandingkan dengan harga produk sama dari negara produsen lain (Suryani & Zulfebriansyah, 2007).
Menurut  Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia (2009) di Amerika Serikat harga biji kakao Indonesia dikenakan diskon automatic detention mencapai USD 300/ton. Selain itu adanya perbedaan bea masuk di negara ekspor tujuan, dimana Afrika dikenakan 0%, sedangkan Indonesia berkisar 7-12%. Namun, disisi lain kakao Indonesia juga mempunyai keunggulan yaitu mengandung lemak cokelat dan dapat menghasilkan bubuk kakao dengan mutu yang baik dan memiliki kadar polifenol yang cukup tinggi (Suryani & Zulfebriansyah, 2007; Yuliani, 2010).
            Beberapa faktor penyebab mutu kakao beragam yang dihasilkan adalah minimnya sarana pengolahan, lemahnya pengawasan mutu serta penerapan teknologi pada seluruh tahapan proses pengolahan biji kakao rakyat yang tidak berorientasi pada mutu (Kadin, 2007).
Disisi lain,  konsumen makanan lebih selektif dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka, maka dunia industri makanan saat ini mengarah ke pangan fungsional.  Pangan fungsional adalah pangan yang tidak hanya memberikan zat-zat gizi esensial pada tubuh, tetapi juga memberikan efek perlindungan kesehatan atau bahkan penyembuhan terhadap beberapa penyakit. Bahan pangan yang berasal dari sumber tanaman diketahui memiliki komponen fitokimia, seperti polifenol, antosianin dan sebagainya. Polifenol memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi, berperan dalam pencegahan penyakit kardiovaskular dan pencegah kanker.Polifenol  sebagai senyawa non gizi, merupakan xenobiotik yang diketahui sangat aman dan toksisitasnya rendah, sehingga menjadi kandidat yang unggul sebagai agensia pencegah kanker (Kusumaningtyas, 2008).
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2008), komposisi biji kakao adalah lemak (49- 52%), protein 6%, glukosa (8-14%), polifenol (6-12%), dan teobromin (0.17 – 0.20%).
Keberadaan polifenol dengan konsentrasi yang tinggi dalam kakao memberi pengaruh negatif terhadap citarasa, berupa rasa sepat dan pahit yang berlebihan serta menghambat pembentukan komponen-komponen aroma selama proses penyangraian biji kakao (Misnawi et al.,  2004). Pembentukan rasa sepat diduga melalui mekanisme pengendapan protein-protein yang kaya prolin dalam air ludah dan menyumbang pada rasa pahit khas cokelat bersama alkaloid, beberapa asam amino, peptida dan pirazin (Kusumaningtyas, 2008).
Dengan demikian,  maka perlu ada inovasi teknologi untuk meningkatkan mutu dan mempertahankan kandungan polifenol biji kakao dengan cita rasa yang baik  yaitu salah satunya dengan cara fermentasi yang menggunakan inhibitor enzim polifenol oksidase. 
Fermentasi  biji kakao merupakan fermentasi tradisional yang melibatkan mikroorganisme endogen dan aktivitas enzim endogen. Fermentasi biji kakao akan menghasilkan prekursor cita rasa, mencokelat-hitamkan warna biji, mengurangi rasa-rasa pahit, asam, manis dan aroma bunga, meningkatkan aroma kakao (cokelat) dan kacang (nutty), dan mengeraskan kulit biji menjadi seperti tempurung. Biji yang tidak difermentasi tidak akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga cita rasa dan mutu biji sangat rendah (Rohman, 2009).
Penambahan aktivitas enzim protease selama memroses biji kakao secara fermentasi sangat penting dalam meningkatkan cita rasa kakao. Di dalam biji kakao akan terjadi penguraian senyawa polifenol, protein dan gula oleh enzim. Penguraian senyawa-senyawa tersebut akan menghasilkan aroma, perbaikan rasa dan perubahan warna (Voigt et al., 1994a; 1994b).
            Enzim adalah biomolekul yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia dengan jalan menurunkan energi aktivasi. Enzim bekerja secara spesifik , memilki daya katalitik yang besar, dan umumnya tidak menghasilkan produk samping, sehingga sangat sering digunakan dalam proses biokimia, seperti halnya enzim protease yang bekerja secara spesifik sebagai pemecah asam amino tertentu pada proses fermentasi biji kakao (Mckee & James, 1999; Thompson et al., 2001).
        Mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi biji kakao yaitu ragi, bakteri asam laktat, bakteri asam asetat dan kemungkinan Bacillus.spp akan tumbuh membentuk suatu urutan yang menyebabkan terjadinya proses fermentasi. Etanol dan asam organik (asam laktat dan asam asetat) yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut akan berdifusi ke dalam biji dan menyebabkan kematian biji. Perubahan ini menginduksi reaksi biokimia (reaksi enzimatik) di dalam biji dan menghasilkan prekursor kimia dari cita rasa coklat, aroma dan warna (Thompson et al., 2001; Ardhana & Fleet, 2003; Schwan & Wheals, 2004; Nielsen et al., 2008).

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons